Komponen Sistem
Pemilukada
Secara prinsip dan
operasional Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(pemilukada) dibentuk atas 5 (lima) komponen yang meliputi :
- Wakil kepala daerah. Dimensi kesempatan mensyaratkan
harus tersedia ruang persaingan terbuka. Kesempatan yang terbuka dan sama
bagi masyarakat untuk ikut dalam sirkulasi elite lokal, dalam hal ini
kepala eksekutif yakni kepala dan untuk mendapatkan semua kedudukan dan
kekuasaan politik. Pada waktu yang bersamaan harus tersedianya juga ruang
aktifitas yang cukup dengan jaminan yang memadai bagi partisipasi seluruh
warga Negara (Robert Dahl-1971). Kesempatan yang demikian luas dan sama
diperoleh anggota masyarakat untuk dicalonkan baik dari parpol/gabungan
parpol dan atau jalur perseorangan. Kesempatan ini akan tertutup bila
pilkada diserahkan ke DPRD. Bakal calon perseorangan akan sulit ikut
mencalonkan karena tidak punya peluang dicalonkan partai politik yang
punya kursi maupun tidak punya kursi di DPRD.
- Posisi masyarakat dalam membangun keseimbangan
legislatif dan eksekutif agar terjadi kesinambungan antara janji di pileg
dengan kampanye di pemilukada.
- Regulasi yang mengatur baik di UU, PP dan PKPU serta
Permendagri.
- Manajemen internal penyelenggara pemilukada yang
ditetapkan dan dikendalikan KPU sesuai dengan amanat UU Nomor 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
- Kaitan dengan Pemerintah Daerah untuk dukungan anggaran
dan bentuk lainnya. Juga dukungan dari instansi pemerintah lainnya
(kependudukan, pendidikan, agama, kepolisian, pengadilan negeri, KPK, dll)
Kaitan Pemilukada
dengan Otonomi Daerah
Masyarakat di tingkat
lokal sesungguhnya memerlukan implementasi demokrasi nyata dan dapat mengalami
secara langsung. Pengelolaan otonomi daerah menuntut kondisi terciptanya proses
demokrasi. Proses demokrasi merupakan jaminan masyarakat dapat mengatur mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan perihal Hak Daerah. Hak
yang dimaksud dalam menyelenggarakan otonomi antara lain meliputi:
- mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
- memilih pimpinan daerah;
- mengelola aparatur daerah;
- mengelola kekayaan daerah;
- memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
- mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
- mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
- mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan
perundangundangan.
Memilih pimpinan
daerah diaktualisasikan melalui pemilukada.
Pasca reformasi 1999,
konstruksi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai
keputusan politik diawali dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang
disahkan MPR RI tanggal 18 Agustus 2000. Di dalam Pasal 18 ayat 4 UUD
1945 diamanatkan :
”Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing
sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara
demokratis”
Pasal 56 UU 32 tahun
2004 mengatur Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dari pemahaman
sederhana penulis akan konstruksi dan regulasi pilkada minimal ditemukan 10
makna penting di dalam proses dan hasil pilkada itu sendiri.
Pertama, pemilihan kepala daerah dilakukan secara
demokratis dan langsung. Pilihan tersebut tidak dapat dilepaskan begitu saja
dari pengalaman daerah dalam konteks UU 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah yang cenderung sentralistis termasuk dalam pemilihan kepala daerah yang
’terpimpin’. Pasca reformasi 1999, konstruksi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dirubah total. Sebagai keputusan politik diawali dengan
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan MPR RI tanggal 18 Agustus
2000. Di dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 diamanatkan : ”Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Aktualisasi makna
demokratis yang dimaksud diterapkan dengan melibatkan DPRD sebagai pemeran
utama sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam perkembangan
selanjutnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 56)
mengkonstruksikan pemilukada sebagai pemilihan satu pasangan calon kepala yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Kendali utama ada di tangan masyarakat pemilih.
Kedua, karena pemilukada ada dan berlangsung di
daerah maka pengelolaan otonomi daerah menuntut kondisi terciptanya proses
demokrasi. Proses demokrasi merupakan jaminan masyarakat dapat mengatur
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Masyarakat sesungguhnya
memerlukan implementasi demokrasi nyata dan dapat mengalami secara langsung
manfaat otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UU No. 32 tahun 2004
meletakkan hak memilih pimpinan daerah melalui pilkada merupakan salah satu hak
daerah dalam menyelenggarakan otonomi. Hak lainnya seperti mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya; mengelola aparatur daerah; mengelola
kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi
hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di
daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; hingga mendapatkan
hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.
Ketiga, kesempatan partai politik sebagai
peserta pemilukada berkaitan dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya. Pemilu
legislatif 2009 telah menghasilkan perolehan suara sah partai politik (parpol),
terdiri dari perolehan suara calon legislatif dan perolehan suara partai
politik dan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih masa bakti
2009-2014. Kaitan yang dimaksud membuktikan bahwa pembangunan politik di parlemen
lokal (DPRD) sebagai landasan pembangunan politik di legislatif (kepala dan
wakil kepala daerah).
Keempat, meskipun terdapat kaitan antara hasil pemilu
legislatif dengan pilkada namun tidak berarti bahwa hasil pemilukada akan
selalu sebangun dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya. Fakta membuktikan
bahwa hasil pilkada tidak selalu sebangun konfigurasi dominan atau parpol
pemenang di pemilu legislatif.
Lingkaran Survey
Indonesia (LSI) melalui Kajian bulanan (edisi 03 Juli 2007) mempublikasikan
perihal kegagalan parpol mempertahankan basis suara. Lebih dari separoh wilayah
yang telah melangsungkan pemilukada ditandai oleh gejala kekalahan partai
pemenang Pemilu Legislatif. Dari catatan LSI terhadap 296 pilkada hingga
Desember 2006, 43.1% wilayah ditandai dengan kemenangan calon yang diusung oleh
pemenang Pemilu Legislatif. Sisanya 56.9% wilayah ditandai oleh kekalahan calon
yang diusung oleh pemenang Pemilu Legislatif.
Kelima, peserta pilkada berasal dari parpol dan
atau gabungan parpol. Kepesertaan parpol dan atau gabungan parpol di pemilukada
sebagai aktualisasi salah satu fungsi parpol yakni rekrumen politik.
Fungsi parpol lainnya
yakni pendidikan politik, agregasi politik, artikulasi politik, komunikasi
politik, pembuatan keputusan dan oposisi bila tidak ‘berkuasa’. Rekrumen
politik mengisyaratkan bahwa parpol menyiapkan kader, anggota dan simpatisannya
untuk mengisi jabatan politik guna merealisasikan Dengan demikian kesempatan
partai politik sebagai peserta pemilukada merupakan unsur pembentuk ajah
demokrasi lokal.
Keenam, peserta pemilukada dari calon
perseorangan. Dinamika politik yang berkembang mendorong peserta pemilukada
tidak hanya dari parpol atau gabungan parpol tetapi juga dari calon
perseorangan. Paradigma calon perseorangan mendasarkan diri pada kesempatan
maju ke pemilukada juga terbuka bagi pasangan individu yang bukan kader dan
anggota parpol. Meskipun kenyataan berbicara lain. Jalur perseorangan tidak
hanya diminati tokoh masyarakat yang bukan kader dan anggota parpol melainkan
juga oleh kader dan anggota parpol yang tidak mendapatkan kesempatan maju
melalui jalur parpol dan atau gabungan parpol.
Ketujuh, melalui pemilukada berlangsung siklus
sirkulasi elit politik daerah secara konstitusional. Sirkulasi elit politik
khususnya pada posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah setiap 5 tahun
sekali. Sirkulasi yang dilangsungkan merupakan kelanjutan sekaligus
melengkapi sirkulasi elit politik di DPRD.
Kedelapan, kelanjutan
berikutnya adalah reformasi elit lokal dan birokrat daerah. Reformasi yang
dimaksud mulai dari sisi individu yang mengisi jabatan publik di daerah akan
terjadi sesuai dengan pilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Termasuk
kemungkinan pergantian individu yang akan mengisi pimpinan jajaran birokrat
daerah.
Kesembilan, sesuai amanat UU 32 tahun 2004 anggaran
pemilukada dibebankan pada APBD. Artinya, bahwa pendanaan kegiatan guna
melaksanakan siklus sirkulasi pimpinan daerah menjadi tanggungjawab masyarakat
dan pemerintah daerah melalui APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan
pemilukada bukan hanya berlangsung di daerah melainkan juga menjadi
tanggungjawab pelaksanaan otonomi daerah. Kiranya tanggungjawab pelaksanaan
otonomi daerah diiringi dengan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak
pilih di pemilukada.
Kesepuluh, visi dan misi, janji kampanye di
pemilukada berkaitan dengan arah dan penekanan pembangunan daerah. Kaitan
tersebut ada dalam konstruksi perencanaan pembangunan daerah pasca terpilihnya
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang baru. Pembangunan daerah sebagai
usaha mencapai tujuan otonomi daerah harus didasarkan perencanaan pembangunan
daerah. Untuk jangka 5 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
merupakan penjabaran visi, misi dan program kepala daerah saat kampanye
pemilukada.
Dengan demikian, visi
dan misi, janji kampanye yang disusun para peserta pilkada kiranya dipersiapkan
secara serius dan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat serta kemampuan untuk
merealisasikannya bila terpilih. Bila tidak, maka pembangunan daerah selama
masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih tidak akan sesuai
dengan harapan masyarakat pemilih.
Soal Yang Muncul
Selama Ini
Soal yang muncul
selama ini antara lain meliputi :
- Opini yang berkembang bahwa biaya pemilukada itu mahal,
meskipun perlu pencermatan apakah yang mahal itu proses pencalonan
seseorang baik melalui parpol/gabungan parpol atau perseorangan.
Bila dipandang bahwa dalam penyelenggaraan pemilukada perlu efisien maka
perlu dikaji kembali regulasi yang mengatur pemilukada khususnya yang
terdapat di UU 32/2004 seperti keberadaan kartu pemilih; efisiensi proses
pemutakhiran data dan daftar pemilih; jumlah petugas KPPS; efisiensi dalam
pencatatan pemungutan, penghitungan hingga rekapitulasi perolehan suara
dan hal lain.
- Fenomena maraknya politik uang yang sangat jarang
terungkap. Hal yang perlu diperbaiki dari sisi regulasi hingga pendidikan
politik bagi masyarakat agar tidak cenderung pragmatis (ada uang atau
tidak) dalam memilih pasangan calon pemilukada.
- Kegamangan hubungan pusat dan daerah karena kepala dan
wakil daerah masing-masing dipilih langsung. Soal kegamangan tersebut
justru dimulai dari konstruksi pemerintah daerah dan hubungan pusat dan
daerah yang diatur di dalam UU 32/2004. Yang diperlukan ada revisi 32/2004
guna perbaikan pemerintahan daerah.
- Adanya kerusuhan yang mewarnai pemilukada. Bila
secara dicermati angka kerusuhan kecil dibandingkan dengan pemilukada yang
tanpa kerusuhan. Oleh karena itu perlu pembenahan, pengawasan di internal
penyelenggara dan antisipasi dari aparat keamanan akan proses pemilukada.