Jumat, 21 Maret 2014

JKT48 | Flying Get

Jumat, 28 Februari 2014

kisah sang rosul dan lirik Habib Syeh

lagu terbaru JKT48 "NEW SHIP"

Kamis, 27 Februari 2014

Muhammad Gama Raditya





Kamis, 06 Februari 2014

komponen sistem PEMILU KADA

Komponen Sistem Pemilukada
Secara prinsip dan operasional Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (pemilukada) dibentuk atas 5 (lima) komponen yang meliputi :
  1. Wakil kepala daerah. Dimensi kesempatan mensyaratkan harus tersedia ruang persaingan terbuka. Kesempatan yang terbuka dan sama bagi masyarakat untuk ikut dalam sirkulasi elite lokal, dalam hal ini kepala eksekutif yakni kepala dan untuk mendapatkan semua kedudukan dan kekuasaan politik. Pada waktu yang bersamaan harus tersedianya juga ruang aktifitas yang cukup dengan jaminan yang memadai bagi partisipasi seluruh warga Negara (Robert Dahl-1971). Kesempatan yang demikian luas dan sama diperoleh anggota masyarakat untuk dicalonkan baik dari parpol/gabungan parpol dan atau jalur perseorangan. Kesempatan ini akan tertutup bila pilkada diserahkan ke DPRD. Bakal calon perseorangan akan sulit ikut mencalonkan karena tidak punya peluang dicalonkan partai politik yang punya kursi maupun tidak punya kursi di DPRD.
  2. Posisi masyarakat dalam membangun keseimbangan legislatif dan eksekutif agar terjadi kesinambungan antara janji di pileg dengan kampanye di pemilukada.
  3. Regulasi yang mengatur baik di UU, PP dan PKPU serta Permendagri.
  4. Manajemen internal penyelenggara pemilukada yang ditetapkan dan dikendalikan KPU sesuai dengan amanat UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
  5. Kaitan dengan Pemerintah Daerah untuk dukungan anggaran dan bentuk lainnya. Juga dukungan dari instansi pemerintah lainnya (kependudukan, pendidikan, agama, kepolisian, pengadilan negeri, KPK, dll)
Kaitan Pemilukada dengan Otonomi Daerah
Masyarakat di tingkat lokal sesungguhnya memerlukan implementasi demokrasi nyata dan dapat mengalami secara langsung. Pengelolaan otonomi daerah menuntut kondisi terciptanya proses demokrasi. Proses demokrasi merupakan jaminan masyarakat dapat mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan perihal Hak Daerah.  Hak yang dimaksud dalam menyelenggarakan otonomi antara lain meliputi:
  1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
  2. memilih pimpinan daerah;
  3. mengelola aparatur daerah;
  4. mengelola kekayaan daerah;
  5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
  6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
  7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
  8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.
Memilih pimpinan daerah diaktualisasikan melalui pemilukada.

Makna Pemilukada 
Pasca reformasi 1999, konstruksi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah  sebagai keputusan politik diawali dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan MPR RI tanggal 18 Agustus 2000.  Di dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 diamanatkan :
”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”
Pasal 56 UU 32 tahun 2004 mengatur Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dari pemahaman sederhana penulis akan konstruksi dan regulasi pilkada minimal ditemukan 10 makna penting di dalam proses dan hasil pilkada itu sendiri.
Pertama, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis dan langsung. Pilihan tersebut tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pengalaman daerah dalam konteks UU 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang cenderung sentralistis termasuk dalam pemilihan kepala daerah yang ’terpimpin’. Pasca reformasi 1999, konstruksi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah  dirubah total. Sebagai keputusan politik diawali dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan MPR RI tanggal 18 Agustus 2000.  Di dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 diamanatkan : ”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Aktualisasi makna demokratis yang dimaksud diterapkan dengan melibatkan DPRD sebagai pemeran utama sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 
Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 56) mengkonstruksikan pemilukada sebagai pemilihan satu pasangan calon kepala yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kendali utama ada di tangan masyarakat pemilih.
Kedua, karena pemilukada ada dan berlangsung di daerah maka pengelolaan otonomi daerah menuntut kondisi terciptanya proses demokrasi. Proses demokrasi merupakan jaminan masyarakat dapat mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Masyarakat sesungguhnya memerlukan implementasi demokrasi nyata dan dapat mengalami secara langsung manfaat otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UU No. 32 tahun 2004 meletakkan hak memilih pimpinan daerah melalui pilkada merupakan salah satu hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi. Hak lainnya seperti mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; hingga mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.
Ketiga, kesempatan partai politik sebagai peserta pemilukada berkaitan dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya. Pemilu legislatif 2009 telah menghasilkan perolehan suara sah partai politik (parpol), terdiri dari perolehan suara calon legislatif dan perolehan suara partai politik dan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih masa bakti 2009-2014. Kaitan yang dimaksud membuktikan bahwa pembangunan politik di parlemen lokal (DPRD) sebagai landasan pembangunan politik di legislatif (kepala dan wakil kepala daerah).
Keempat, meskipun terdapat kaitan antara hasil pemilu legislatif dengan pilkada namun tidak berarti bahwa hasil pemilukada akan selalu sebangun dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya. Fakta membuktikan bahwa hasil pilkada tidak selalu sebangun konfigurasi dominan atau parpol pemenang di pemilu legislatif.
Lingkaran Survey Indonesia (LSI) melalui Kajian bulanan (edisi 03 Juli 2007) mempublikasikan perihal kegagalan parpol mempertahankan basis suara. Lebih dari separoh wilayah yang telah melangsungkan pemilukada ditandai oleh gejala kekalahan partai pemenang Pemilu Legislatif. Dari catatan LSI terhadap 296 pilkada hingga Desember 2006, 43.1% wilayah ditandai dengan kemenangan calon yang diusung oleh pemenang Pemilu Legislatif. Sisanya 56.9% wilayah ditandai oleh kekalahan calon yang diusung oleh pemenang Pemilu Legislatif.
Kelima, peserta pilkada berasal dari parpol dan atau gabungan parpol. Kepesertaan parpol dan atau gabungan parpol di pemilukada sebagai aktualisasi salah satu fungsi parpol yakni rekrumen politik.
Fungsi parpol lainnya yakni pendidikan politik, agregasi politik, artikulasi politik, komunikasi politik, pembuatan keputusan dan oposisi bila tidak ‘berkuasa’. Rekrumen politik mengisyaratkan bahwa parpol menyiapkan kader, anggota dan simpatisannya untuk mengisi jabatan politik guna merealisasikan Dengan demikian kesempatan partai politik sebagai peserta pemilukada merupakan unsur pembentuk ajah demokrasi lokal.
Keenam, peserta pemilukada dari calon perseorangan. Dinamika politik yang berkembang mendorong peserta pemilukada tidak hanya dari parpol atau gabungan parpol tetapi juga dari calon perseorangan. Paradigma calon perseorangan mendasarkan diri pada kesempatan maju ke pemilukada juga terbuka bagi pasangan individu yang bukan kader dan anggota parpol. Meskipun kenyataan berbicara lain. Jalur perseorangan tidak hanya diminati tokoh masyarakat yang bukan kader dan anggota parpol melainkan juga oleh kader dan anggota parpol yang tidak mendapatkan kesempatan maju melalui jalur parpol dan atau gabungan parpol.
Ketujuh, melalui pemilukada berlangsung siklus sirkulasi elit politik daerah secara konstitusional. Sirkulasi elit politik khususnya pada posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah setiap 5 tahun sekali. Sirkulasi yang dilangsungkan merupakan kelanjutan sekaligus melengkapi  sirkulasi elit politik di DPRD.
Kedelapan, kelanjutan berikutnya adalah reformasi elit lokal dan birokrat daerah. Reformasi yang dimaksud mulai dari sisi individu yang mengisi jabatan publik di daerah akan terjadi sesuai dengan pilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Termasuk kemungkinan pergantian individu yang akan mengisi pimpinan jajaran birokrat daerah.
Kesembilan, sesuai amanat UU 32 tahun 2004 anggaran pemilukada dibebankan pada APBD. Artinya, bahwa pendanaan kegiatan guna melaksanakan siklus sirkulasi pimpinan daerah menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah daerah melalui APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilukada bukan hanya berlangsung di daerah melainkan juga menjadi tanggungjawab pelaksanaan otonomi daerah. Kiranya tanggungjawab pelaksanaan otonomi daerah diiringi dengan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih di pemilukada.
Kesepuluh, visi dan misi, janji kampanye di pemilukada berkaitan dengan arah dan penekanan pembangunan daerah. Kaitan tersebut ada dalam konstruksi perencanaan pembangunan daerah pasca terpilihnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang baru. Pembangunan daerah sebagai usaha mencapai tujuan otonomi daerah harus didasarkan perencanaan pembangunan daerah. Untuk jangka 5 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan penjabaran visi, misi dan program kepala daerah saat kampanye pemilukada.
Dengan demikian, visi dan misi, janji kampanye yang disusun para peserta pilkada kiranya dipersiapkan secara serius dan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat serta kemampuan untuk merealisasikannya bila terpilih. Bila tidak, maka pembangunan daerah selama masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih tidak akan sesuai dengan harapan masyarakat pemilih.

Soal Yang Muncul Selama Ini
Soal yang muncul selama ini antara lain meliputi :
  1. Opini yang berkembang bahwa biaya pemilukada itu mahal, meskipun perlu pencermatan apakah yang mahal itu proses pencalonan seseorang baik melalui parpol/gabungan parpol atau perseorangan.  Bila dipandang bahwa dalam penyelenggaraan pemilukada perlu efisien maka perlu dikaji kembali regulasi yang mengatur pemilukada khususnya yang terdapat di UU 32/2004 seperti keberadaan kartu pemilih; efisiensi proses pemutakhiran data dan daftar pemilih; jumlah petugas KPPS; efisiensi dalam pencatatan pemungutan, penghitungan hingga rekapitulasi perolehan suara dan hal lain.
  2. Fenomena maraknya politik uang yang sangat jarang terungkap. Hal yang perlu diperbaiki dari sisi regulasi hingga pendidikan politik bagi masyarakat agar tidak cenderung pragmatis (ada uang atau tidak) dalam memilih pasangan calon pemilukada.
  3. Kegamangan hubungan pusat dan daerah karena kepala dan wakil daerah masing-masing dipilih langsung. Soal kegamangan tersebut justru dimulai dari konstruksi pemerintah daerah dan hubungan pusat dan daerah yang diatur di dalam UU 32/2004. Yang diperlukan ada revisi 32/2004 guna perbaikan pemerintahan daerah.
  4. Adanya kerusuhan yang mewarnai pemilukada.  Bila secara dicermati angka kerusuhan kecil dibandingkan dengan pemilukada yang tanpa kerusuhan. Oleh karena itu perlu pembenahan, pengawasan di internal penyelenggara dan antisipasi dari aparat keamanan akan proses pemilukada.

Senin, 13 Januari 2014

dandangan kudus

Tradisi Dandangan di Kota Kudus

Setiap menjelang bulan Puasa, kota kudus memiliki tradisi yang oleh warga setempat dinamai “Dandangan”.  Lokasi dandangan berpusat di jalan Menara Kudus membentang ke jalan-jalan di sekitarnya ke selatan hingga alun-alun Simpang Tujuh dan ke Utara hingga Pasar Jember (jalan Kudus-Jepara). Menjelang Ramadhan 1430 H/2009 M ini saya sempat menunjungi lokasi Dandangan tersebut.
Menurut cerita seorang teman kelahiran Kudus, tradisi dandangan ini awalnya dilakukan untuk mendengar suara bedug di Masjid Menara Kudus yang konon kabarnya dapat berbunyi sendiri (tanpa dipukul) saat menjelang Ramadhan. Barangkali dari suara bedug “dang! dang!” (bukan “dug dug” ya?) asal-muasal nama Dandangan. Saya rasa penamaan ‘Dandangan’ ini mirip dengan ‘Dugderan” di Semarang, yang juga berasal dari suara bedug: “dug dug dug, dher!”.
Sejauh pengamatan saya, aktivitas Dandangan mirip dengan pasar malam yang biasa terdapat di daerah-daerah lain di Indonesia. Hanya saja, kegiatan ini berlangsung selama beberapa minggu dengan jumlah penjaja daganganya sangat banyak dan beragam barang atau jasa yang ditawarkan. Barang-barang atau produk yang ditawarkan sangat beragam: pakaian, sepatu dan sandal, perhiasan, furnitur, hasil kerajinan, mainan anak-anak,  dan berbagai jenis makanan. Saya juga menjumpai beberapa penjual kerak telus khas Betawi.
Meski dibuka hampir sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari, pengunjung acara ini paling banyak pada malam hari, selepas Maghrib hingga menjelang tengah malam. Pada saat jumlah pengunjung memuncak inilah kemacetan jalan-jalan di sekitar lokasi tak terelakkan. Jalan tempat lokasi utama Dandangan itu sendiri telah ditutup oleh pihak penyelenggara, Dipenda Kudus. Hanya sepeda motor yang dapat lewat dengan berjalan lambat di sela-sela lapak-lapak para pedagang dan lalu-lalang pengunjung yang berjalan kaki.
Pengunjung Dandangan meliputi segala usia, mulai anak-anak hingga lanjut usia, pria dan wanita. Hanya saja usia remaja tampak mendominasi. Kemungkinan besar, pengunjung ini tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari daerah-daerah sekitarnya seperti Demak, Jepara, Pati, dan Grobogan

Template by:

Free Blog Templates